BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak-anak
berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang mempunyai keunikan tersendiri dalam
jenis dan kararteristiknya, yang membedakan mereka dari anak anak normal pada
umumnya. Keragaman anak berkebutuhan khusus terkadang menyulitkan guru dalam
upaya menemukan jenis dan pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Namun
apabila guru telah memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang hakikat anak
berkebutuhan khusus, maka mereka akan mampu memenuhi kebutuhan dari anak
berkebutuhan khusus tersebut.
Ada
beberapa istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan keadaan anak
berkebutuhan khusus. Istilah anak berkebutuhan khusus merupakan terjemahan dari
child with special needs yang telah
digunakan luas pada dunia internasional. Penggunaan istilah anak berkebutuhan
khusus mengubah cara pandang yang berbeda akan anak luar biasa. Jika pada
istilah luar biasa lebih menitik beratkan pada kondisifisik, mental, dan emosi
social anak maka pada berkebutuhan khusus lebih menekankan pada kebutuhan anak
untuk mencapai prestasi sesuai dengan kebutuhaannya.
Pemerintah
hadir sebagai pelindung dari anak-anak berkebutuhan khusus ini. Ini dibuktikan
dengan adanya beberapa landasan hukum yang melindungi anak-anak berkebutuhan
khusus ini melau dari UUD 1945, UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
hingga PP. No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Kesejahteraan Sosoal Penyandang
Cacat. Dari berbagai peraturan perundangan dan kesepakatan tersebut telah
mencakup hampir semua hak anak-anak berkebutuhan khusus dan yang sering menjadi
permasalahan adalah pelanggaran terhadap hak-hak tersebut belum jelas
sanksinya.
Layanan
pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus ada beberapa jenis namun yan paling
sering kita temui adalah layanan pendidikan segresi dimana sistem layanan pendidikan segresi adalah
sistem pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Dengan kata
lain anak berkebutuhan khusus diberikan layanan pendidikan pada lembaga
pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan khusus seperti : Sekolah Luar Biasa,
Sekolah Dasar Luar Biasa, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, dan Sekolah
Menengah Atas Luar Biasa.
Sekolah
Luar Biasa atau SLB merupakan sebuah unit tertua dari sekolah sekolah
berkebutuhan khusus lainnya. Struktur SLB ini terdiri dari seorang kepala
sekolah dan guru pada satu kelainan tertentu sehingga SLB dibagi menjadi
beberapa unit yaitu SLB-A untuk tunanetra, SLB-B untuk tunarungu, SLB-C untuk
tunagrahita, SLB-D untuk tunadaksa, dan SLB-E untuk tunalaras. Sistem
pengajaran pada SLB lebih mengarah pada sistem pengajaran Individualisasi.
Dewasa ini pemahaman masyarakat mengenai anak
berkebutuhan khusus dan layanan pendidikan yang menaunginya sangatlah minim.
Oleh sebab itu penulis memandang perlu penjelasan secara khusus mengenai
anak-anak yang berkebutuhan khusus serta lembaga-lembaga yang menjadi sarana
pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus tersebut. Sesuai dengan tugas
yang berikan, penulis akan mencoba membahan mengenai anak berkebutuhan khusus
yang sering dinamakan anak tunarungu serta lembaga pendidikan nya yaitu SLB-B
serta proses pembelajaran dalam upaya memaksimalkan prestasi dan potensi dari
anak berkebutuhan khusus tersebut. Dan penulis berharap dapat memberikan
informasi kepada pembaca khususnya para guru dan masyarakat luas.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
yang diangkat pada makalah ini adalah :
1.
Apakah definisi
dan karakteristik dari anak tunarungu?
2. Apakah perbedaan sekolah reguler dengan
sekolah khusus bagi anak tunarungu?
3.
Bagaimanakah
proses pembelajaran yang dilaksanakan bagi anak tunarungu?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan
makalah ini :
1.
Untuk
mengetahui definisi dan karakteristik dari anak tunarungu.
2.
Untuk
mengetahui perbedaan sekolah reguler dengan sekolah khusus bagi anak tunarungu.
3.
Untuk
mengetahui proses pembelajaran yang dilaksanakan bagi anak tunarungu.
1.4 Manfaat
Dengan
adanya makalah ini pembaca dapat mengetahui lebih dalam lagi mengenai anak-anak
berkebutuhan khusus, termasuk juga mengenai lembaga pendidikan yang menaunginya
dan juga proses belajar dan pembelajaran yang dilakukan di lembaga pendidikan
khusus tersebut. Penulis berharap makalah ini dapat dijadikan referensi yang
berguna untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai anak tunarungu termasuk
lembaga khusus SLB-B serta proses atau kegitan pembelajaran yang yang dilakukan
anak berkebutuhan khusus tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Definisi
dan Karakteristik dari Anak Tunarungu
Anak
berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang memiliki keunikan tersendiri dalam
jenis dan karakteristiknya, yang membedakan mereka dari anak-nak normal pada
umumnya. Jenis-jenis anak berkebutuhan khusus ini antara lain, tunanetra,
tunarunggu, tunagrahita, tunadaksa, dan tuna laras.
Pada
makalah ini, akan dibahas secara mendalam mengenai definisi dan karakteristik
anak tunarungu. Tunarungu adalah sebuah istilah yang merujuk pada kondisi
ketidak fungsian organ pendengaran atau telinga seseorang. Anak-nak dalam
kondisi ini mengalami hambatan atau keterbatasan dalam merespon bunyi-bunyi yang
ada disekitarnya. Tunarungu terdiri atas beberapa tingkatan kemampuan
mendengar, yang umum dan khusus. Ada beberapa klasifikasi anak tunarungu,
yaitu:
1. Klasifikasi
umum
a) Tuli (The deaf), yaitu penyandang tunarungu
berat dan sangat berat dengan tingkat ketulian di atas 90 dB.
b) Kurang
dengar (Hard of Hearing), yaitu
penyandang tunarungu ringan atau sedang, dengan derajat ketulian 20-90 dB.
2. Klasifikasi
Khusus
a) Tunarungu
ringan, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 25-45 dB.
Yaitu anak yang mengalami ketunarunguan taraf ringan, dimana anak dalam tahap
ini mengalami kesulitan untuk merespon suara-suara yang datangnya agak jauh.
Pada kondisi yang demikian, seorang anak secara pedagogis sudah memerlukan
perhatian khusus dalam belajarnya di sekolah, misalnya dengan menempatkan
tempat duduk dibagian depan, dekat dengan guru.
b) Tunarungu
sedang, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 46-70 dB.
Yaitu anak yang mengalami ketunarunguan taraf sedang, dimana anak dalam tahap
ini hanya dapat mengerti percakapan pada jarak 3-5 feet secara berhadapan, tetapi tidak dapat mengikuti
diskusi-diskusi di kelas. Untuk anak yang mengalami ketunarunguan taraf ini
memerlukan adanya alat bantu dengar (hearing
aid, dan memerlukan pembinaan komunikasi, persepsi bunyi dan irama.
c) Tunarungu
berat, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 71-90 dB.
Dimana anak dalam tahap ini mengalami ketunarunguan taraf berat, hanya dapat
merespon bunyi-bunyi dalam jarak yang sangat dekat dan diperkeras. Siswa dengan
katagori ini juga memerlukan alat bantu dengar dalam mengikuti pendidikannya di
sekolah. Siswa juga sangat memerlukan adanya pembinaan atau latihan-latihan
komunikasi dan pengembangan bicaranya.
d) Tunarungu
sangat berat (profound), yaitu
penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 90 dB keatas. Pada taraf
ini, mungkin seseorang sudah tidak dapat merespon suara sama sekali, tetapi
mungkin masih bisa merespon melalui getaran-getaran suara yang ada. Untuk
kegiatan pendidikan dan aktivitas lainnya, penyandang tunarungu katagori ini
lebih mengandalkan kemampual visual atau penglihatannya.
Anak-anak
yang berada dalam kondisi ini memiliki karakteristik yang khas, berbeda dari
anak-anak normal pada umumnya. Beberapa karakteristik anak tunarungu,
diantaranya adalah:
1. Segi
Fisik
a) Cara
belajarnya kaku dan agak membungkuk. Akibat terjadinya permasalahan pada organ
keseimbangan pada telinga, menyebabkan anak-anak tunarungu mengalami kekurang
seimbangan dalam aktivitas fisiknya.
b) Pernapasannya
pendek dan tidak teratur. Anak-anak tunarungu tidak pernah mendengarkan
suara-suara dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana bersuara atau mengucapkan
kata-kata dengan intonasi yang baik, sehingga mereka juga tidak terbiasa
mengatur pernapasannya dengan baik, khususnya dalam berbicara.
c) Cara
melihatnya agak beringas. Penglihatan merupakan salah satu indera yang paling
dominan bagi anak-anak penyandang tunarungu, dimana sebagian besar pengalamannya
di peroleh melalui penglihatan. Oleh karena itu, anak-anak tunarungu juga
dikenal dengan anak visual, sehingga cara melihatpun selalu menunjukkan
keingintahuan yang besar dan terlihat beringas.
2. Segi
Bahasa
a) Miskin
akan kosa kata.
b) Sulit
mengartikan kata-kata yang mengandung ungkapan atau idiomatic.
c) Tata
bahasanya kurang teratur.
3. Intelektual
a) Kemampuan
intelektualnya normal. Pada dasarnya anak-anak tunarungu tidak mengalami
permasalahan dalam segi intelektual namun akibat keterbatasan dalam
berkomunikasi dan berbahasa, perkembangan intelektual menjadi lambat.
b) Perkembangan
akademiknya lamban akibat keterbatasan bahasa. Seiring terjadinya kelambanan
dalam perkembangan intelektualnya akibat adanya hambatan dalam berkomunikasi,
maka dalam segi akademiknya juga mengalami keterlambatan.
4. Sosial-emosional
a) Sering
merasa curiga dan berprasangka buruk. Sikap seperti ini terjadi akibat adanya
kelainan fungsi pendengarannya. Anak-nak ini tidak dapat memahami apa yang
dibicarakan orang lain, sehingga anak-anak tunarungu menjadi mudah merasa
curiga.
b) Sering
bersikap agresif (Suparno, 2007).
2.2.
Perbedaan Sekolah Reguler dengan Sekolah Khusus bagi Anak Tunarungu
Salah satu hak hidup yang dimiliki oleh
setiap manusia tidak terkecuali oleh anak yang mempunyai kebutuhan khusus
adalah hak untuk mendapatkan pengajaran. Hak untuk mendapatkan pengajaran dapat
diperoleh di sekolah. Selain itu sekolah juga merupakan tempat pembentukan
karakter serta sarana bersosialisasi untuk mempersiapkan diri menuju jenjang
yang lebih tinggi.
Untuk memfasilitasi sekolah bagi
anak berkebutuhan khusus termasuk tunarungu untuk mendapatkan pendidikan yang
layak, maka pemerintah dibantu oleh pihak swasta membentuk sekolah luar biasa
yang biasa disingkat SLB. Sekolah ini mempunyai cara serta kurikulum yang
disesuaikan bagi anak berkebutuhan khusus agar dapat mandiri serta
mensejajarkan diri dengan anak normal. SLB dikategorikan berdasarkan jenis dari
kebutuhan khusus yaitu, antara lain:
a) SLB-A sekolah untuk bagi anak yang
mempunyai gangguan penglihatan atau tunanetra.
b) SLB-B sekolah untuk anak yang
mempunyai gangguan pendengaran atau tunarungu.
c) SLB-C sekolah untuk anak yang
mempunyai masalah mental atau tunadaksa.
d) SLB-D sekolah untuk anak yang
mempunyai gangguan/cacat fisik.
e) SLB-E sekolah untuk anak yang
mempunyai gangguan perilaku, yang ditunjukkan dalam aktivitas kehidupan
sehari-hari baik di sekolah maupun dalam lingkungan sosialnya.
f) SLB-G sekolah untuk anak yang
mempunyai beberapa gangguan sekaligus.
g) Pendidikan Inkluisi adalah sekolah yang
menerima anak yang normal dan anak yang mempunyai gangguan baik secara fisik
maupun mental.
Khusus bagi anak dengan masalah
gangguan pendengaran pilihan pertama untuk menyekolahkan anak adalah di SLB-B,
hal ini disebabkan minimnya pengetahuan orang tua dalam membesarkan anak dengan
gangguan pendengaran, termasuk memberikan pendidikan. Tapi pada perkembangan
selanjutnya banyak kasus yang membuktikan bahwa anak dengan gangguan
pendengaran dapat bersekolah di sekolah umum hal ini tak lepas dari beberapa
faktor yang mendukung meningkatnya kualitas komunikasi 2 arah, yaitu:
a) Kemajuan teknologi alat bantu dengar
yang dapat menjangkau semua tingkat gangguan pendengaran dengan hadirnya
teknologi digital, FM sistem dll.
b) Kemajuan dunia medis dengan operasi
kohlea.
c) Beragamnya metode terapi yang dapat
dipilih dan yang dapat disesuaikan bagi kebutuhan anak seperti speech therapy (terapi wicara), audio verbal therapy (terapi mendengar)
dan Natural Auditory Oral (NAO) dll.
Banyak pula orang tua yang berpendapat bahwa SLB adalah sarana
pendidikan yang paling baik bagi anak hal ini disebabkan oleh beratnya tingkat
gangguan pendengaran yang mempengaruhi kemampuan komunikasi hingga belum dapat
berkomunikasi verbal 2 arah yang dengan baik. Berikut ini adalah beberapa kasus
jenjang pendidikan yang diambil oleh orang tua dalam menyekolahkan anak dengan
gangguan pendengaran:
a)
Bersekolah
di SLB, dari awal pra sekolah, TK hingga pendidikan menengah atas (SMA)
bersekolah di SLB.
b)
Bersekolah
di SLB kemudian pindah ke sekolah reguler, dengan melihat perkembangan
kemampuan komunikasi 2 arah yang makin baik banyak orang tua berkeyakinan bahwa
anak dapat bersekolah di sekolah reguler, biasanya hal ini dimulai selepas dari
TK atau SD.
c)
Bersekolah
di sekolah reguler, beberapa kasus menunjukkan bahwa anak dengan gangguan
pendengaran dapat bersekolah di sekolah reguler sejak TK hingga SMA, dengan
dibantu dengan terapi yang sesuai dengan kebutuhan anak secara intensif sejak balita.
Adapun perbedaan yang mendasar antara sekolah reguler dan
sekolah berkebutuhan khusus, adalah sebagai berikut:
1.
Kurikulum
a) SLB sudah mempunyai kurikulum yang
disesuaikan dengan kebutuhan anak dengan gangguan pendengaran.
b)
Sekolah
umum tidak mempunyai kurikulum khusus bagi anak dengan gangguan pendengaran,
anak harus berusaha lebih agar dapat mengikuti tahapan pembelajaran (kurikulum)
di sekolah serta berkompetisi dengan teman- temannya yang mendengar normal.
2.
Guru
a) SLB mempunyai guru dengan latar
belakang pendidikan bagi anak yang mempunyai gangguan pendengaran.
b) Banyak Sekolah reguler tidak
mempunyai guru dengan latar belakang pendidikan bagi anak yang mempunyai
gangguan pendengaran. Akan tetapi belakangan ini pemerintah melalui SD Negeri
mempunyai program inklusi bagi anak dengan kebutuhan khusus dengan menyediakan guru pendamping kelas.
3.
Jumlah murid
a) Jumlah murid di SLB cenderung
sedikit karena di dalam sistem pengajaran menitikberatkan sistem individual.
b) Jumlah murid cenderung banyak dan
bersifat klasikal, anak dituntut untuk banyak bertanya apabila tidak memahami.
4.
Kualitas
komunikasi
a) Kualitas komunikasi verbal anak dengan gangguan pendengaran
yang bersekolah di SLB biasanya tidak sebaik anak dengan gangguan pendengaran
yang bersekolah di sekolah reguler, hal ini bisa jadi disebabkan karena mereka
tidak terbiasa berkomunikasi dengan orang normal. Penggunaan bahasa isyarat
merupakan hal wajar untuk berkomunikasi di antara sesama.
b) Peningkatan kualitas komunikasi
diperlihatkan karena anak dengan
gangguan pendengaran dipaksa oleh keadaan untuk berusaha dengan keras
berkomunikasi dengan baik dengan anak-anak dan lingkungan yang mendengar.
Dari uraian diatas, ada baiknya
bahwa orang tua harus berpandangan realistis dan meredam keinginan
yang didasari oleh emosi di dalam menentukan sekolah yang sesuai dengan
kebutuhan anak, karena perkembangan intelektual, emosi serta perilaku setiap
anak berbeda. Perlu penilaian, evaluasi serta observasi yang objektif oleh
orang tua terhadap anak sebelum menentukan pilihan yang tepat untuk anak di
dalam mendapatkan pendidikan.
Bukan berarti anak yang mempunyai
gangguan pendengaran yang bersekolah di sekolah reguler lebih baik kualitas
hidupnya dari pada anak yang bersekolah di SLB, karena banyak juga anak-anak
jebolan SLB yang berhasil menjadi seorang profesional bekerja secara formal.
Begitu juga sebaliknya banyak pula anak
dengan gangguan pendengaran yang bersekolah di sekolah reguler yang berhasil
pula menjadi seorang profesional. Jadi sekolah dimanapun baik di sekolah
reguler atau SLB bukan hal yang perlu dipermasalahkan asal pilihan orang tua
sesuai dengan kemampuan anak. Tugas seorang guru dalam hal ini adalah terus
membimbing, menemukan bakat serta potensi agar anak siap di kehidupan yang akan
datang, agar semua mempunyai kesempatan yang sama di dalam hidup, termasuk di
dalamnya memperoleh pendidikan dan kesempatan kerja (Anonim, 2011).
2.3
Hasil Observasi
2.3.1Sejarah Sekolah Luar Biasa Negeri Singaraja
Sekolah Luar Biasa Negeri Singaraja lokasinya terletak di
jalan Veteran No. 11-A Singaraja, Bali. SLB bagian B pertama kali didirikan di
Bali yakni kota Singaraja pada tahun 1944-1950, pada masa pemerintahan raja
Bali bernama A.A. Panji Tisna. Di kota ini sudah mulai ada seorang anak yang
mengalami kecacatan tuli bisu total. Beberapa hari kemudian keberadaan anak
tuli bisu umur usia sekolah telah berkempul menjadi jumlah 4 orang. Orang tua
dari A.A. Ngurah Jelantik dari puri Buleleng banjar Liligundi, membantu
meminjamkan tempat disalah satu ruangan dilokasi puri Buleleng Singaraja untuk
tempat berlangsungnya kegiatan proses belajar mengajar dan dimulainya pada
tanggal 18 April 1958 dan dibantu oleh seorang tenaga pengajar yang merangkap
sebagai Kepala Sekolah tuli bisu puri Buleleng yang pertama kali bernama bapak
Made Suarthana, lulusan SPG Singaraja. Pada tanggal 16 Mei 1959 didirikan
yayasan yang bernama Yayasan Pendidikan Orang-orang Tuna. Setelah mendirikan
suatu yayasan tersebut, ternyata yayasan tersebut tidak mampu menampung
orang-orang cacat, sehingga kegiatan proses belajar mengajar dilakukan di Puri
Buleleng selama 1,5 tahun kemudian dipindahkan ke lingkungan Kelurahan Kendran
Singaraja yang diasuh oleh yayasan. Pada tanggal 22 maret 1961 nama yayasan
pendidikan orang-orang tuna diganti menjadi "Yayasan Lembaga Pendidikan
Anak-anak Tuna Singaraja". Selama 10 tahun yaitu mulai tahun 1959-1969
yayasan memberi pelayanan pendidikan kepada anak cacat rungu. Pada tahun 1969
SLB-B tersebut dinegrikan oleh pemerintah menjadi SLB-B Negeri Singaraja hingga
sekarang. Untuk meningkatkan pelayanan bagi anak cacat, maka pengurus berganti
beberapa kali dalam tahun 1973. Pengurus mengalami peremajaan susunan pengurus
pada tanggal 1 November 1973.
2.3.2 Landasan Yuridis Sekolah luar biasa B Negeri
Singaraja
Landasan Yuridis yang diterapkan pada SLB B sama seperti
sekolah pada umumnya yang mengacu pada perkembangan dan peningkatan mutu
pendidikan anak bangsa. Hak-hak yang dimiliki anak berkebutuhan khusus berdasar
pada landasan yuridis formal, meliputi:
a)
UUD
1945 (Amandemen).
b)
UU
No. 20 Tahun 2002 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
c)
UU
No. 4 tentang Penyandang Cacat tahun 1997.
d)
UU
No. 23 tentang Perlindungan Hak Anak tahun 2003.
e)
PP
No. 19 tentang Standar Pendidikan Nasional tahun 2004.
f)
Deklarasi
Bandung tahun 2004 “ Indonesia menuju Pendidikan Inklusi”
g)
Deklarasi
Salamanca, dsb.
2.3.3 Kurikulum dan Layanan yang digunakan di Sekolah Luar Biasa B Negeri
Singaraja.
Sesuai hasil wawancara yang telah dilakukan di SLB B Negeri
Singaraja, kurikulum yang digunakan adalah kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP) dengan bobot yang berbeda dan disesuaikan dengan ketunaannya, hal ini
disebabkan karena SLB berbeda dengan sekolah reguler dari segi akademisnya,
sosialnya, dan banyak hal yang membuat anak-anak yang sekolah di SLB itu
berbeda dengan anak-anak yang bersekolah di sekolah reguler. RPP yang digunakan
di SLB sama dengan RPP yang ada di sekolah regular namun disesuaikan dengan
kondisi setiap kelas, dimana ada tiga kriteria yang dimiliki oleh anak yaitu
total, sedang, dan ringan. Keberhasilan yang dicapai oleh setiap anak pun
berbeda, ada yang bisa menangkap dalam waktu 1 hari, seminggu, sebulan bahkan
tahunan tergantung kemampuan anak tersebut dalam menangkap materi pembelajaran.
Di SLB B Negeri Singaraja layanan pendidikan yang digunakan
yaitu lebih banyak menggunakan layanan face to face (tatap muka) karena di SLB
tidak mungkin menggunakan sistim klasikal, hal itu disebabkan oleh SLB
menangani anak yang berkebutuhan khusus perlu penanganan khusus dan yang lebih
banyak diterapkan yaitu bimbingan perseorangannya. Jika di sekolah reguler, guru bisa sambil menulis,
berbicara membelakangi siswa. Sedangkan jika dibandingkan dengan SLB B guru
tidak bisa melakukan hal yang sama dengan guru di sekolah reguler seperti
sambil menulis, berbicara membelakangi siswa harus langsung bertatap muka
kemudian mimiknya bagaimana, ucapannya bagaimana banyak hal yang harus
diperhatikan untuk melayani mereka pengenalan terhadap sesuatu itu yang sulit.
Pada tiap kelas juga disediakan cermin yang berfungsi untuk melatih anak dalam
artikulasi (gerak bibir). Lampu di setiap kelas selalu dinyalakan dengan tujuan
anak dapat dengan jelas membaca mimik guru pada saat menjelaskan materi
pelajaran.
Jumlah siswa di setiap kelas di SLB-B tidak sama, antara 4
sampai 6 orang. Usia siswa di masing-masing kelas juga berbeda-beda tergantung
dari kemampuan siswa. Siswa yang memiliki kemampuan lebih cepat menangkap
materi pelajaran akan ditempatkan di kelas akselerasi (percepatan).
Metode yang digunakan di SLB-B dengan di sekolah regular
berbeda, disesuaikan dengan materi dan tingkat kemampuan anak. Sebagian besar
anak SLB-B tidak bisa baca tulis, namun anak mengetahui maksud yang guru
sampaikan seperti jika guru menyuruh anak untuk mengambil sesuatu, guru akan
memberitahu anak dengan menggunakan bahasa isyarat, anak akan mengerti dan langsung
mengambil barang yang dimaksudkan. Mengenai buku pelajaran yang digunakan,
SLB-B menggunakan buku BSE sama dengan buku sekolah regular, namun tidak semua
materi digunakan. SLB-B hanya mengambil materi-materi pelajaran yang sifatnya
umum.
Mengenai assessmen di SLB-B dilakukan untuk mengetahui
tingkat kemampuan yang diperoleh anak selama mengikuti proses pembelajaran di
SLB-B Negeri Singaraja. Teknik Assessmen yang digunakan adalah sistem assessmen
secara individual yaitu mengadakan ulangan harian, ulangan tengah semester dan
ulangan akhir semester. Rangkaian Assessmen dilakukan melalui ulangan
sehari-hari, ulangan tengah semester dan ulangan akhir semester secara klasikal
dan individual melalui pengembangan program sesuai dengan kurikulum yang digunakan
dan di kembangkan oleh SLB-B Negeri Singaraja.
Mengenai ekstrakulikuler yang diterapkan disekolah ini,
terdapat beberapa ekstrakurikuler yang diberikan atau dilatihkan pada anak
yaitu pramuka, tari, olahraga seperti sepakbola dan senam, komputer (IT), kerajinan
tangan seperti menjahit dan sablon.
2.3.4
Persyaratan Peserta Didik dan Pendidik di Sekolah
Luar Biasa B Negeri Singaraja
Persyaratan untuk menjadi peserta
didik di SLB-B Negeri Singaraja yaitu harus memiliki kekurangan atau cacat
fisik berupa tunarungu. Umur minimal anak untuk masuk SLB-B adalah 7 tahun, dan
umur maksimalnya tidak ada batasan. Mengenai persyaratan untuk menjadi pendidik
atau guru di SLB-B yaitu untuk pendidikan SLB awal atau SDLB dasar kelas rendah
1,2,3 harus di didik oleh pendidik tamatan PLB (pendidikan Luar Biasa) dan
untuk kelas Tinggi 4,5,6 boleh di didik oleh pendidik tamatan PGSD (pendidikan
Guru Sekolah Dasar). Sedanggkan SLB Tinggi atau SMPLB boleh di didik oleh
pendidik tamatan umum baik tamatan PLB maupun tamatan non PLB, dengan catatan
pendidik tamatan non PLB memiliki keterampilan dasar-dasar mengajar. Pengajar
di SLB-B juga harus mengikuti penataran khusus selama 3 bulan di kota Bandung
dan kemudian ditempatkan magang di SLB seluruh Bali sebelum menjadi pendidik
resmi di SLB.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Simpulan
Tunarungu adalah sebuah
istilah yang merujuk pada kondisi ketidak fungsian organ pendengaran atau
telinga seseorang. Anak-nak dalam kondisi ini mengalami hambatan atau
keterbatasan dalam merespon bunyi-bunyi yang ada disekitarnya. Untuk memfasilitasi sekolah bagi
anak berkebutuhan khusus (tunarungu) untuk mendapatkan pendidikan yang layak,
maka pemerintah dibantu oleh pihak swasta membentuk sekolah luar biasa yang
biasa disingkat SLB.
Pembelajaran di SLB-B Negeri Singaraja ini juga menggunakan RPP
yang sama dengan RPP yang ada di sekolah regular namun disesuaikan dengan
kondisi setiap kelas, dimana ada tiga kriteria yang dimiliki oleh anak yaitu
total, sedang, dan ringan. Keberhasilan yang dicapai oleh setiap anak pun
berbeda, ada yang bisa menangkap dalam waktu 1 hari, seminggu, sebulan bahkan
tahunan tergantung kemampuan anak tersebut dalam menangkap materi pembelajaran.
Layanan pendidikan yang digunakan yaitu lebih banyak menggunakan layanan face
to face (tatap muka) karena di SLB tidak mungkin menggunakan sistim klasikal,
hal itu disebabkan oleh SLB menangani anak yang berkebutuhan khusus perlu
penanganan khusus dan yang lebih banyak diterapkan yaitu bimbingan perseorangannya.
3.2.
Saran
Dengan adanya makalah
ini diharapkan para pembaca dapat mengetahui tentang definisi/karakteristik, lembaga
pendidikan sekolah khusus dan regular, serta observasi mengenai pelayanan
pendidikan, rencana pembelajaran yang diperoleh di SLB-B. Dan juga dapat di
jadikan referensi atau pedoman dalam mengkaji tentang kekhususan yang dimiliki
oleh anak berkebutuhan khusus khususnya anak yang memiliki gangguan pada pendengaran/tunarungu. Untuk kekurangan dalam
makalah ini penulis menerima kritik dan saran dari pembaca.
0 komentar:
Posting Komentar