skip to main | skip to sidebar

PENDAS BLOG

  • Entries (RSS)
  • Comments (RSS)
  • Home
  • About Us
  • Archives
  • Contact Us

Rabu, 02 Januari 2013

Observasi SLB-B Tunarungu Singaraja

Diposting oleh Michael Donny di Rabu, Januari 02, 2013

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Anak-anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang mempunyai keunikan tersendiri dalam jenis dan kararteristiknya, yang membedakan mereka dari anak anak normal pada umumnya. Keragaman anak berkebutuhan khusus terkadang menyulitkan guru dalam upaya menemukan jenis dan pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Namun apabila guru telah memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang hakikat anak berkebutuhan khusus, maka mereka akan mampu memenuhi kebutuhan dari anak berkebutuhan khusus tersebut.
Ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan keadaan anak berkebutuhan khusus. Istilah anak berkebutuhan khusus merupakan terjemahan dari child with special needs yang telah digunakan luas pada dunia internasional. Penggunaan istilah anak berkebutuhan khusus mengubah cara pandang yang berbeda akan anak luar biasa. Jika pada istilah luar biasa lebih menitik beratkan pada kondisifisik, mental, dan emosi social anak maka pada berkebutuhan khusus lebih menekankan pada kebutuhan anak untuk mencapai prestasi sesuai dengan kebutuhaannya.
Pemerintah hadir sebagai pelindung dari anak-anak berkebutuhan khusus ini. Ini dibuktikan dengan adanya beberapa landasan hukum yang melindungi anak-anak berkebutuhan khusus ini melau dari UUD 1945, UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat hingga PP. No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Kesejahteraan Sosoal Penyandang Cacat. Dari berbagai peraturan perundangan dan kesepakatan tersebut telah mencakup hampir semua hak anak-anak berkebutuhan khusus dan yang sering menjadi permasalahan adalah pelanggaran terhadap hak-hak tersebut belum jelas sanksinya.
Layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus ada beberapa jenis namun yan paling sering kita temui adalah layanan pendidikan segresi dimana  sistem layanan pendidikan segresi adalah sistem pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus diberikan layanan pendidikan pada lembaga pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan khusus seperti : Sekolah Luar Biasa, Sekolah Dasar Luar Biasa, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa.
Sekolah Luar Biasa atau SLB merupakan sebuah unit tertua dari sekolah sekolah berkebutuhan khusus lainnya. Struktur SLB ini terdiri dari seorang kepala sekolah dan guru pada satu kelainan tertentu sehingga SLB dibagi menjadi beberapa unit yaitu SLB-A untuk tunanetra, SLB-B untuk tunarungu, SLB-C untuk tunagrahita, SLB-D untuk tunadaksa, dan SLB-E untuk tunalaras. Sistem pengajaran pada SLB lebih mengarah pada sistem pengajaran Individualisasi.
 Dewasa ini pemahaman masyarakat mengenai anak berkebutuhan khusus dan layanan pendidikan yang menaunginya sangatlah minim. Oleh sebab itu penulis memandang perlu penjelasan secara khusus mengenai anak-anak yang berkebutuhan khusus serta lembaga-lembaga yang menjadi sarana pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus tersebut. Sesuai dengan tugas yang berikan, penulis akan mencoba membahan mengenai anak berkebutuhan khusus yang sering dinamakan anak tunarungu serta lembaga pendidikan nya yaitu SLB-B serta proses pembelajaran dalam upaya memaksimalkan prestasi dan potensi dari anak berkebutuhan khusus tersebut. Dan penulis berharap dapat memberikan informasi kepada pembaca khususnya para guru dan masyarakat luas.

1.2  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang diangkat pada makalah ini adalah :
1.      Apakah definisi dan karakteristik dari anak tunarungu?
2.      Apakah perbedaan sekolah reguler dengan sekolah khusus bagi anak tunarungu?
3.      Bagaimanakah proses pembelajaran yang dilaksanakan bagi anak tunarungu?


1.3  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini :
1.      Untuk mengetahui definisi dan karakteristik dari anak tunarungu.
2.      Untuk mengetahui perbedaan sekolah reguler dengan sekolah khusus bagi anak tunarungu.
3.      Untuk mengetahui proses pembelajaran yang dilaksanakan bagi anak tunarungu.

1.4  Manfaat
Dengan adanya makalah ini pembaca dapat mengetahui lebih dalam lagi mengenai anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk juga mengenai lembaga pendidikan yang menaunginya dan juga proses belajar dan pembelajaran yang dilakukan di lembaga pendidikan khusus tersebut. Penulis berharap makalah ini dapat dijadikan referensi yang berguna untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai anak tunarungu termasuk lembaga khusus SLB-B serta proses atau kegitan pembelajaran yang yang dilakukan anak berkebutuhan khusus tersebut.














BAB II
PEMBAHASAN

2.1.   Definisi dan Karakteristik dari Anak Tunarungu
Anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan mereka dari anak-nak normal pada umumnya. Jenis-jenis anak berkebutuhan khusus ini antara lain, tunanetra, tunarunggu, tunagrahita, tunadaksa, dan tuna laras.
Pada makalah ini, akan dibahas secara mendalam mengenai definisi dan karakteristik anak tunarungu. Tunarungu adalah sebuah istilah yang merujuk pada kondisi ketidak fungsian organ pendengaran atau telinga seseorang. Anak-nak dalam kondisi ini mengalami hambatan atau keterbatasan dalam merespon bunyi-bunyi yang ada disekitarnya. Tunarungu terdiri atas beberapa tingkatan kemampuan mendengar, yang umum dan khusus. Ada beberapa klasifikasi anak tunarungu, yaitu:
1.    Klasifikasi umum
a)    Tuli (The deaf), yaitu penyandang tunarungu berat dan sangat berat dengan tingkat ketulian di atas 90 dB.
b)   Kurang dengar (Hard of Hearing), yaitu penyandang tunarungu ringan atau sedang, dengan derajat ketulian 20-90 dB.
2.    Klasifikasi Khusus
a)    Tunarungu ringan, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 25-45 dB. Yaitu anak yang mengalami ketunarunguan taraf ringan, dimana anak dalam tahap ini mengalami kesulitan untuk merespon suara-suara yang datangnya agak jauh. Pada kondisi yang demikian, seorang anak secara pedagogis sudah memerlukan perhatian khusus dalam belajarnya di sekolah, misalnya dengan menempatkan tempat duduk dibagian depan, dekat dengan guru.
b)   Tunarungu sedang, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 46-70 dB. Yaitu anak yang mengalami ketunarunguan taraf sedang, dimana anak dalam tahap ini hanya dapat mengerti percakapan pada jarak 3-5 feet secara berhadapan, tetapi tidak dapat mengikuti diskusi-diskusi di kelas. Untuk anak yang mengalami ketunarunguan taraf ini memerlukan adanya alat bantu dengar (hearing aid, dan memerlukan pembinaan komunikasi, persepsi bunyi dan irama.
c)    Tunarungu berat, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 71-90 dB. Dimana anak dalam tahap ini mengalami ketunarunguan taraf berat, hanya dapat merespon bunyi-bunyi dalam jarak yang sangat dekat dan diperkeras. Siswa dengan katagori ini juga memerlukan alat bantu dengar dalam mengikuti pendidikannya di sekolah. Siswa juga sangat memerlukan adanya pembinaan atau latihan-latihan komunikasi dan pengembangan bicaranya.
d)   Tunarungu sangat berat (profound), yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 90 dB keatas. Pada taraf ini, mungkin seseorang sudah tidak dapat merespon suara sama sekali, tetapi mungkin masih bisa merespon melalui getaran-getaran suara yang ada. Untuk kegiatan pendidikan dan aktivitas lainnya, penyandang tunarungu katagori ini lebih mengandalkan kemampual visual atau penglihatannya.
Anak-anak yang berada dalam kondisi ini memiliki karakteristik yang khas, berbeda dari anak-anak normal pada umumnya. Beberapa karakteristik anak tunarungu, diantaranya adalah:
1.    Segi Fisik
a)    Cara belajarnya kaku dan agak membungkuk. Akibat terjadinya permasalahan pada organ keseimbangan pada telinga, menyebabkan anak-anak tunarungu mengalami kekurang seimbangan dalam aktivitas fisiknya.
b)   Pernapasannya pendek dan tidak teratur. Anak-anak tunarungu tidak pernah mendengarkan suara-suara dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana bersuara atau mengucapkan kata-kata dengan intonasi yang baik, sehingga mereka juga tidak terbiasa mengatur pernapasannya dengan baik, khususnya dalam berbicara.
c)    Cara melihatnya agak beringas. Penglihatan merupakan salah satu indera yang paling dominan bagi anak-anak penyandang tunarungu, dimana sebagian besar pengalamannya di peroleh melalui penglihatan. Oleh karena itu, anak-anak tunarungu juga dikenal dengan anak visual, sehingga cara melihatpun selalu menunjukkan keingintahuan yang besar dan terlihat beringas.
2.    Segi Bahasa
a)    Miskin akan kosa kata.
b)   Sulit mengartikan kata-kata yang mengandung ungkapan atau idiomatic.
c)    Tata bahasanya kurang teratur.
3.    Intelektual
a)    Kemampuan intelektualnya normal. Pada dasarnya anak-anak tunarungu tidak mengalami permasalahan dalam segi intelektual namun akibat keterbatasan dalam berkomunikasi dan berbahasa, perkembangan intelektual menjadi lambat.
b)   Perkembangan akademiknya lamban akibat keterbatasan bahasa. Seiring terjadinya kelambanan dalam perkembangan intelektualnya akibat adanya hambatan dalam berkomunikasi, maka dalam segi akademiknya juga mengalami keterlambatan.
4.    Sosial-emosional
a)    Sering merasa curiga dan berprasangka buruk. Sikap seperti ini terjadi akibat adanya kelainan fungsi pendengarannya. Anak-nak ini tidak dapat memahami apa yang dibicarakan orang lain, sehingga anak-anak tunarungu menjadi mudah merasa curiga.
b)   Sering bersikap agresif  (Suparno, 2007).





2.2. Perbedaan Sekolah Reguler dengan Sekolah Khusus bagi Anak Tunarungu
Salah satu hak hidup yang dimiliki oleh setiap manusia tidak terkecuali oleh anak yang mempunyai kebutuhan khusus adalah hak untuk mendapatkan pengajaran. Hak untuk mendapatkan pengajaran dapat diperoleh di sekolah. Selain itu sekolah juga merupakan tempat pembentukan karakter serta sarana bersosialisasi untuk mempersiapkan diri menuju jenjang yang lebih tinggi.
Untuk memfasilitasi sekolah bagi anak berkebutuhan khusus termasuk tunarungu untuk mendapatkan pendidikan yang layak, maka pemerintah dibantu oleh pihak swasta membentuk sekolah luar biasa yang biasa disingkat SLB. Sekolah ini mempunyai cara serta kurikulum yang disesuaikan bagi anak berkebutuhan khusus agar dapat mandiri serta mensejajarkan diri dengan anak normal. SLB dikategorikan berdasarkan jenis dari kebutuhan khusus yaitu, antara lain:
a)    SLB-A sekolah untuk bagi anak yang mempunyai gangguan penglihatan atau tunanetra.
b)   SLB-B sekolah untuk anak yang mempunyai gangguan pendengaran atau tunarungu.
c)    SLB-C sekolah untuk anak yang mempunyai masalah mental atau tunadaksa.
d)   SLB-D sekolah untuk anak yang mempunyai gangguan/cacat fisik.
e)    SLB-E sekolah untuk anak yang mempunyai gangguan perilaku, yang ditunjukkan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari baik di sekolah maupun dalam lingkungan sosialnya.
f)    SLB-G sekolah untuk anak yang mempunyai beberapa gangguan sekaligus.
g)   Pendidikan Inkluisi adalah sekolah yang menerima anak yang normal dan anak yang mempunyai gangguan baik secara fisik maupun mental.
Khusus bagi anak dengan masalah gangguan pendengaran pilihan pertama untuk menyekolahkan anak adalah di SLB-B, hal ini disebabkan minimnya pengetahuan orang tua dalam membesarkan anak dengan gangguan pendengaran, termasuk memberikan pendidikan. Tapi pada perkembangan selanjutnya banyak kasus yang membuktikan bahwa anak dengan gangguan pendengaran dapat bersekolah di sekolah umum hal ini tak lepas dari beberapa faktor yang mendukung meningkatnya kualitas komunikasi 2 arah, yaitu:
a)    Kemajuan teknologi alat bantu dengar yang dapat menjangkau semua tingkat gangguan pendengaran dengan hadirnya teknologi digital, FM sistem dll.
b)   Kemajuan dunia medis dengan operasi kohlea.
c)    Beragamnya metode terapi yang dapat dipilih dan yang dapat disesuaikan bagi kebutuhan anak seperti speech therapy (terapi wicara), audio verbal therapy (terapi mendengar) dan Natural Auditory Oral (NAO) dll.
Banyak pula orang tua yang berpendapat bahwa SLB adalah sarana pendidikan yang paling baik bagi anak hal ini disebabkan oleh beratnya tingkat gangguan pendengaran yang mempengaruhi kemampuan komunikasi hingga belum dapat berkomunikasi verbal 2 arah yang dengan baik. Berikut ini adalah beberapa kasus jenjang pendidikan yang diambil oleh orang tua dalam menyekolahkan anak dengan gangguan pendengaran:
a)    Bersekolah di SLB, dari awal pra sekolah, TK hingga pendidikan menengah atas (SMA) bersekolah di SLB.
b)    Bersekolah di SLB kemudian pindah ke sekolah reguler, dengan melihat perkembangan kemampuan komunikasi 2 arah yang makin baik banyak orang tua berkeyakinan bahwa anak dapat bersekolah di sekolah reguler, biasanya hal ini dimulai selepas dari TK atau SD.
c)    Bersekolah di sekolah reguler, beberapa kasus menunjukkan bahwa anak dengan gangguan pendengaran dapat bersekolah di sekolah reguler sejak TK hingga SMA, dengan dibantu dengan terapi yang sesuai dengan kebutuhan anak secara intensif  sejak balita.
Adapun perbedaan yang mendasar antara sekolah reguler dan sekolah berkebutuhan khusus, adalah sebagai berikut:
1.    Kurikulum
a)    SLB sudah mempunyai kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan anak dengan gangguan pendengaran.
b)   Sekolah umum tidak mempunyai kurikulum khusus bagi anak dengan gangguan pendengaran, anak harus berusaha lebih agar dapat mengikuti tahapan pembelajaran (kurikulum) di sekolah serta berkompetisi dengan teman- temannya yang mendengar normal.
2.    Guru
a)    SLB mempunyai guru dengan latar belakang pendidikan bagi anak yang mempunyai gangguan pendengaran.
b)   Banyak Sekolah reguler tidak mempunyai guru dengan latar belakang pendidikan bagi anak yang mempunyai gangguan pendengaran. Akan tetapi belakangan ini pemerintah melalui SD Negeri mempunyai program inklusi bagi anak dengan kebutuhan khusus  dengan menyediakan guru pendamping kelas.
3.    Jumlah murid
a)    Jumlah murid di SLB cenderung sedikit karena di dalam sistem pengajaran menitikberatkan sistem individual.
b)   Jumlah murid cenderung banyak dan bersifat klasikal, anak dituntut untuk banyak bertanya apabila tidak memahami.
4.    Kualitas komunikasi
a)    Kualitas komunikasi verbal anak dengan gangguan pendengaran yang bersekolah di SLB biasanya tidak sebaik anak dengan gangguan pendengaran yang bersekolah di sekolah reguler, hal ini bisa jadi disebabkan karena mereka tidak terbiasa berkomunikasi dengan orang normal. Penggunaan bahasa isyarat merupakan hal wajar untuk berkomunikasi di antara sesama.
b)   Peningkatan kualitas komunikasi diperlihatkan karena anak dengan     gangguan pendengaran dipaksa oleh keadaan untuk berusaha dengan keras berkomunikasi dengan baik dengan anak-anak dan lingkungan yang mendengar.
Dari uraian diatas, ada baiknya bahwa orang tua harus berpandangan realistis dan meredam keinginan yang didasari oleh emosi di dalam menentukan sekolah yang sesuai dengan kebutuhan anak, karena perkembangan intelektual, emosi serta perilaku setiap anak berbeda. Perlu penilaian, evaluasi serta observasi yang objektif oleh orang tua terhadap anak sebelum menentukan pilihan yang tepat untuk anak di dalam mendapatkan pendidikan.
Bukan berarti anak yang mempunyai gangguan pendengaran yang bersekolah di sekolah reguler lebih baik kualitas hidupnya dari pada anak yang bersekolah di SLB, karena banyak juga anak-anak jebolan SLB yang berhasil menjadi seorang profesional bekerja secara formal. Begitu juga sebaliknya banyak pula  anak dengan gangguan pendengaran yang bersekolah di sekolah reguler yang berhasil pula menjadi seorang profesional. Jadi sekolah dimanapun baik di sekolah reguler atau SLB bukan hal yang perlu dipermasalahkan asal pilihan orang tua sesuai dengan kemampuan anak. Tugas seorang guru dalam hal ini adalah terus membimbing, menemukan bakat serta potensi agar anak siap di kehidupan yang akan datang, agar semua mempunyai kesempatan yang sama di dalam hidup, termasuk di dalamnya memperoleh pendidikan dan kesempatan kerja (Anonim, 2011).

2.3 Hasil Observasi
2.3.1Sejarah Sekolah Luar Biasa Negeri Singaraja
Sekolah Luar Biasa Negeri Singaraja lokasinya terletak di jalan Veteran No. 11-A Singaraja, Bali. SLB bagian B pertama kali didirikan di Bali yakni kota Singaraja pada tahun 1944-1950, pada masa pemerintahan raja Bali bernama A.A. Panji Tisna. Di kota ini sudah mulai ada seorang anak yang mengalami kecacatan tuli bisu total. Beberapa hari kemudian keberadaan anak tuli bisu umur usia sekolah telah berkempul menjadi jumlah 4 orang. Orang tua dari A.A. Ngurah Jelantik dari puri Buleleng banjar Liligundi, membantu meminjamkan tempat disalah satu ruangan dilokasi puri Buleleng Singaraja untuk tempat berlangsungnya kegiatan proses belajar mengajar dan dimulainya pada tanggal 18 April 1958 dan dibantu oleh seorang tenaga pengajar yang merangkap sebagai Kepala Sekolah tuli bisu puri Buleleng yang pertama kali bernama bapak Made Suarthana, lulusan SPG Singaraja. Pada tanggal 16 Mei 1959 didirikan yayasan yang bernama Yayasan Pendidikan Orang-orang Tuna. Setelah mendirikan suatu yayasan tersebut, ternyata yayasan tersebut tidak mampu menampung orang-orang cacat, sehingga kegiatan proses belajar mengajar dilakukan di Puri Buleleng selama 1,5 tahun kemudian dipindahkan ke lingkungan Kelurahan Kendran Singaraja yang diasuh oleh yayasan. Pada tanggal 22 maret 1961 nama yayasan pendidikan orang-orang tuna diganti menjadi "Yayasan Lembaga Pendidikan Anak-anak Tuna Singaraja". Selama 10 tahun yaitu mulai tahun 1959-1969 yayasan memberi pelayanan pendidikan kepada anak cacat rungu. Pada tahun 1969 SLB-B tersebut dinegrikan oleh pemerintah menjadi SLB-B Negeri Singaraja hingga sekarang. Untuk meningkatkan pelayanan bagi anak cacat, maka pengurus berganti beberapa kali dalam tahun 1973. Pengurus mengalami peremajaan susunan pengurus pada tanggal 1 November 1973.
2.3.2 Landasan Yuridis Sekolah luar biasa B Negeri Singaraja
Landasan Yuridis yang diterapkan pada SLB B sama seperti sekolah pada umumnya yang mengacu pada perkembangan dan peningkatan mutu pendidikan anak bangsa. Hak-hak yang dimiliki anak berkebutuhan khusus berdasar pada landasan yuridis formal, meliputi:
a)      UUD 1945 (Amandemen).
b)      UU No. 20 Tahun 2002 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
c)      UU No. 4 tentang Penyandang Cacat tahun 1997.
d)     UU No. 23 tentang Perlindungan Hak Anak tahun 2003.
e)      PP No. 19 tentang Standar Pendidikan Nasional tahun 2004.
f)       Deklarasi Bandung tahun 2004 “ Indonesia menuju Pendidikan Inklusi”
g)      Deklarasi Salamanca, dsb.

2.3.3 Kurikulum dan Layanan yang digunakan di Sekolah Luar Biasa B Negeri Singaraja.
Sesuai hasil wawancara yang telah dilakukan di SLB B Negeri Singaraja, kurikulum yang digunakan adalah kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dengan bobot yang berbeda dan disesuaikan dengan ketunaannya, hal ini disebabkan karena SLB berbeda dengan sekolah reguler dari segi akademisnya, sosialnya, dan banyak hal yang membuat anak-anak yang sekolah di SLB itu berbeda dengan anak-anak yang bersekolah di sekolah reguler. RPP yang digunakan di SLB sama dengan RPP yang ada di sekolah regular namun disesuaikan dengan kondisi setiap kelas, dimana ada tiga kriteria yang dimiliki oleh anak yaitu total, sedang, dan ringan. Keberhasilan yang dicapai oleh setiap anak pun berbeda, ada yang bisa menangkap dalam waktu 1 hari, seminggu, sebulan bahkan tahunan tergantung kemampuan anak tersebut dalam menangkap materi pembelajaran.
Di SLB B Negeri Singaraja layanan pendidikan yang digunakan yaitu lebih banyak menggunakan layanan face to face (tatap muka) karena di SLB tidak mungkin menggunakan sistim klasikal, hal itu disebabkan oleh SLB menangani anak yang berkebutuhan khusus perlu penanganan khusus dan yang lebih banyak diterapkan yaitu bimbingan perseorangannya. Jika  di sekolah reguler, guru bisa sambil menulis, berbicara membelakangi siswa. Sedangkan jika dibandingkan dengan SLB B guru tidak bisa melakukan hal yang sama dengan guru di sekolah reguler seperti sambil menulis, berbicara membelakangi siswa harus langsung bertatap muka kemudian mimiknya bagaimana, ucapannya bagaimana banyak hal yang harus diperhatikan untuk melayani mereka pengenalan terhadap sesuatu itu yang sulit. Pada tiap kelas juga disediakan cermin yang berfungsi untuk melatih anak dalam artikulasi (gerak bibir). Lampu di setiap kelas selalu dinyalakan dengan tujuan anak dapat dengan jelas membaca mimik guru pada saat menjelaskan materi pelajaran.
Jumlah siswa di setiap kelas di SLB-B tidak sama, antara 4 sampai 6 orang. Usia siswa di masing-masing kelas juga berbeda-beda tergantung dari kemampuan siswa. Siswa yang memiliki kemampuan lebih cepat menangkap materi pelajaran akan ditempatkan di kelas akselerasi (percepatan).
Metode yang digunakan di SLB-B dengan di sekolah regular berbeda, disesuaikan dengan materi dan tingkat kemampuan anak. Sebagian besar anak SLB-B tidak bisa baca tulis, namun anak mengetahui maksud yang guru sampaikan seperti jika guru menyuruh anak untuk mengambil sesuatu, guru akan memberitahu anak dengan menggunakan bahasa isyarat, anak akan mengerti dan langsung mengambil barang yang dimaksudkan. Mengenai buku pelajaran yang digunakan, SLB-B menggunakan buku BSE sama dengan buku sekolah regular, namun tidak semua materi digunakan. SLB-B hanya mengambil materi-materi pelajaran yang sifatnya umum.
Mengenai assessmen di SLB-B dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan yang diperoleh anak selama mengikuti proses pembelajaran di SLB-B Negeri Singaraja. Teknik Assessmen yang digunakan adalah sistem assessmen secara individual yaitu mengadakan ulangan harian, ulangan tengah semester dan ulangan akhir semester. Rangkaian Assessmen dilakukan melalui ulangan sehari-hari, ulangan tengah semester dan ulangan akhir semester secara klasikal dan individual melalui pengembangan program sesuai dengan kurikulum yang digunakan dan di kembangkan oleh SLB-B Negeri Singaraja.
Mengenai ekstrakulikuler yang diterapkan disekolah ini, terdapat beberapa ekstrakurikuler yang diberikan atau dilatihkan pada anak yaitu pramuka, tari, olahraga seperti sepakbola dan senam, komputer (IT), kerajinan tangan seperti menjahit dan sablon.

2.3.4        Persyaratan Peserta Didik dan Pendidik di Sekolah Luar Biasa B Negeri Singaraja
Persyaratan untuk menjadi peserta didik di SLB-B Negeri Singaraja yaitu harus memiliki kekurangan atau cacat fisik berupa tunarungu. Umur minimal anak untuk masuk SLB-B adalah 7 tahun, dan umur maksimalnya tidak ada batasan. Mengenai persyaratan untuk menjadi pendidik atau guru di SLB-B yaitu untuk pendidikan SLB awal atau SDLB dasar kelas rendah 1,2,3 harus di didik oleh pendidik tamatan PLB (pendidikan Luar Biasa) dan untuk kelas Tinggi 4,5,6 boleh di didik oleh pendidik tamatan PGSD (pendidikan Guru Sekolah Dasar). Sedanggkan SLB Tinggi atau SMPLB boleh di didik oleh pendidik tamatan umum baik tamatan PLB maupun tamatan non PLB, dengan catatan pendidik tamatan non PLB memiliki keterampilan dasar-dasar mengajar. Pengajar di SLB-B juga harus mengikuti penataran khusus selama 3 bulan di kota Bandung dan kemudian ditempatkan magang di SLB seluruh Bali sebelum menjadi pendidik resmi di SLB.
BAB III
PENUTUP

3.1.      Simpulan
Tunarungu adalah sebuah istilah yang merujuk pada kondisi ketidak fungsian organ pendengaran atau telinga seseorang. Anak-nak dalam kondisi ini mengalami hambatan atau keterbatasan dalam merespon bunyi-bunyi yang ada disekitarnya. Untuk memfasilitasi sekolah bagi anak berkebutuhan khusus (tunarungu) untuk mendapatkan pendidikan yang layak, maka pemerintah dibantu oleh pihak swasta membentuk sekolah luar biasa yang biasa disingkat SLB.
Pembelajaran di SLB-B Negeri Singaraja ini juga menggunakan RPP yang sama dengan RPP yang ada di sekolah regular namun disesuaikan dengan kondisi setiap kelas, dimana ada tiga kriteria yang dimiliki oleh anak yaitu total, sedang, dan ringan. Keberhasilan yang dicapai oleh setiap anak pun berbeda, ada yang bisa menangkap dalam waktu 1 hari, seminggu, sebulan bahkan tahunan tergantung kemampuan anak tersebut dalam menangkap materi pembelajaran. Layanan pendidikan yang digunakan yaitu lebih banyak menggunakan layanan face to face (tatap muka) karena di SLB tidak mungkin menggunakan sistim klasikal, hal itu disebabkan oleh SLB menangani anak yang berkebutuhan khusus perlu penanganan khusus dan yang lebih banyak diterapkan yaitu bimbingan perseorangannya.

3.2.      Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan para pembaca dapat mengetahui tentang definisi/karakteristik, lembaga pendidikan sekolah khusus dan regular, serta observasi mengenai pelayanan pendidikan, rencana pembelajaran yang diperoleh di SLB-B. Dan juga dapat di jadikan referensi atau pedoman dalam mengkaji tentang kekhususan yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus khususnya anak yang memiliki gangguan pada  pendengaran/tunarungu. Untuk kekurangan dalam makalah ini penulis menerima kritik dan saran dari pembaca.
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Posting Komentar (Atom)

Sponsored

  • banners
  • banners
  • banners
  • banners

Blog Archive

  • ▼  2013 (10)
    • ▼  Januari (10)
      • Kegiatan Bakti Sosial PGSD 2010
      • Kondisi Belajar Robert Gagne
      • Study Kasus Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus (Tu...
      • Observasi SLB-B Tunarungu Singaraja
      • Nilai Dan Moral Yang Berkaitan Pada Kompetensi Das...
      • Penggunaan Media Gambar Dalam Proses Belajar Mengajar
      • Perkembangan Vegetatif Buatan Sambung (Enten) Pada...
      • Litosfer, Atmosfer, Dan Hidrosfer
      • Proses Pembuatan Tuak Dari Ental
      • Katolik Dan Selamat

Followers

Translate

Popular Posts

  • Penggunaan Media Gambar Dalam Proses Belajar Mengajar
    Bab I Pendahuluan 1.1   Latar Belakang Kemajuan teknologi di era sekarang ini berdampak pada banyak hal. Salah satu dampak kemaju...
  • Nilai Dan Moral Yang Berkaitan Pada Kompetensi Dasar Siswa Sekolah Dasar
    NILAI DAN MORAL YANG BERKAITAN PADA KOMPETENSI DASAR SISWA SD NILAI A.       PENGERTIAN NILAI Nilai adalah sesuatu yang berharga,...
  • Observasi SLB-B Tunarungu Singaraja
    BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Anak-anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang mempunyai keunikan tersendiri dalam je...
  • Litosfer, Atmosfer, Dan Hidrosfer
    Bab I Pendahuluan 1.1   Latar Belakang Pengetahuan tentang bumi merupakan bagian dari bidang studi IPA di Sekolah Dasar. Oleh kar...
  • Perkembangan Vegetatif Buatan Sambung (Enten) Pada Tumbuhan Adenium
    BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Pada dasarnya setiap mahluk hidup pasti akan melakukan proses perkembangbiakan atau reprod...
  • Kondisi Belajar Robert Gagne
    BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Paradigma pendidikan dari dulu hingga sekarang pada dasarnya tetaplah sama yaitu ingin men...
  • Study Kasus Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus (Tunarungu)
    STUDY KASUS ( CASE STUDY ) BIMBINGAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SLB-B NEGERI SINGARAJA Identitas Siswa Sasaran : a.        Nam...
  • Proses Pembuatan Tuak Dari Ental
    LAPORAN STUDI WISATA MENGENAI PROSES PEMBUATAN TUAK Hari Jumat tanggal 30 September 2011 mahasiswa PGSD semester III kelas A mengadak...
  • Kegiatan Bakti Sosial PGSD 2010
  • Katolik Dan Selamat
    “Katolik” dan “Selamat”             Mengapa saya masih katolik? Sebuah pertanyaan yang muncul ketika saya telah mencapai titik kedewa...

About Me

Foto Saya
Michael Donny
Singaraja, Bali, Indonesia
Saya orang yang biasa saja dan ingin punya banyak teman biar bisa banyak ngutang,,,, Hehehehe ^_^
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Blogroll

Blog Archive

  • ▼  2013 (10)
    • ▼  Januari (10)
      • Kegiatan Bakti Sosial PGSD 2010
      • Kondisi Belajar Robert Gagne
      • Study Kasus Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus (Tu...
      • Observasi SLB-B Tunarungu Singaraja
      • Nilai Dan Moral Yang Berkaitan Pada Kompetensi Das...
      • Penggunaan Media Gambar Dalam Proses Belajar Mengajar
      • Perkembangan Vegetatif Buatan Sambung (Enten) Pada...
      • Litosfer, Atmosfer, Dan Hidrosfer
      • Proses Pembuatan Tuak Dari Ental
      • Katolik Dan Selamat

About

Blogger templates

Blogger news

Cari Blog Ini

 

© 2010 My Web Blog
designed by DT Website Templates | Bloggerized by Agus Ramadhani | Zoomtemplate.com